Tentang Senja. 

Nama itu masih tersimpan di palung hati, tak kunjung terhapus. Sebuah nama yang kerap menghadirkan rindu, debar, dan sekelebat kenangan di masa silam. Entahlah, waktu ternyata tak bisa sedikitpun menghapus pesona alami yang terpancar tanpa alasan hingga aku akhirnya menolak lupa demi sebuah cerita yang pernah tercipta.


Senja. Nama itu masih tetap terdengar indah, selembut halimun terbawa angin. Sebuah nama yang sanggup membuatku bergeming di persimpangan, bingung memilih antara berjalan ke depan atau kembali ke belakang. Entahlah, kenangan itu begitu erat tergenggam meski aku kerap terhuyung menahan rindu tak terperi.

Senja. Nama itu membuatku belajar menerima rasa sakit ketika cinta sepertinya tak lagi butuh keberadaan, tertahan di padang tandus, kering tak tersirami. Entahlah apakah ini sebuah kebodohan hingga aku tak pernah sampai ke ujung perjalanan jiwa. Merasa letih menyimpan asa tak tersampaikan sekadar menatap bening matanya atau menyentuh hangat jemarinya.



Akhirnya kutinggalkan juga beranda senja itu. Melepaskan mimpi-mimpi yang kerap muncul di sepertiga sisa malam. Melupakan hari-hari menikmati perubahan warna matahari di batas cakrawala. Maaf, bukan maksud menafikkan keindahan senja yang tak pernah ada habisnya. Bukan pula membenci wajah senja yang begitu lembut dan pantas disentuh. Tapi, aku memang harus pergi, kembali merumuskan diri sendiri yang masih tergeragap. 

Akhirnya kutinggalkan juga beranda senja itu. Mencoba mengendalikan hidup yang penuh keterdugaan hingga masa depan kerap lepas dari pegangan. Sungguh, aku tak bisa selamanya menjelma menjadi patung yang berdiri menatap senja sempurna di beranda itu menjelang malam. Seperti katamu, aku memang harus melupakan beranda itu. Karena lupa mungkin akan membebaskanku dari pusaran tak berujung ini.

Post a Comment

 
Top